Dasar Penciptaan Manusia


Umat Islam pada abad XX ini berada dalam suatu kondisi yang benar-benar tidak punya kekuatan. Umat Islam yang notabene adalah orang beriman kepada Allah SWT benar-benar berada pada suatu kondisi yang tidak ada kemuliaan. Jadi, apakah agama kita yang salah atau diri kita yang salah. Demi Allah SWT dan jiwa saya yang benar dalam genggaman-Nya, YANG SALAH ADALAH KITA SEBAGAI UMAT ISLAM BUKAN AGAMA ISLAM YANG MULIA INI. Kita telah melupakan tujuan dan dasar penciptaan manusia. Coba kita tilik kembali apa tujuan penciptaan manusia dalam surat Al-Baqarah : 30 – 34. Kita perbaiki kompas hidup kita, kita arahkan kembali tujuan hidup manusia, kita perbaiki arah bangsa ini dan kita persembahkan hidup yang terbaik kepada-Nya.

YANG SALAH ADALAH KITA SEBAGAI UMAT ISLAM BUKAN AGAMA ISLAM YANG MULIA INI

Dalam ayat tersebut di atas, Allah menciptakan manusia untuk menjadi khalifah. Apa itu khalifah? Khalifah bukanlah presiden, raja, atau pemimpin suatu kaum. Dalam ayat ini, Allah memberikan makna umum atas kata khalifah adalah manusia yang diajarkan oleh Allah SWT tentang nama-nama benda yang membedakan manusia dengan malaikat dan iblis. Walaupun kenyataannya saat ini, manusia sering berbuat kerusakan dan saling menumpahkan darah seperti yang diragukan malaikat kepada Allah SWT. Tapi, Allah SWT Maha berkehendak atas segala sesuatu yang terjadi. Kerusakan dan saling bertumpah darah dikarenakan manusia banyak yang tidak beriman, tidak taat, dan manusia lebih menciptai dunia daripada mencintai akhirat.

Kita dilebihkan dari makhluk lain dengan makna implisit perintah Allah SWT kepada Adam AS untuk menyebutkan nama-nama benda. Itulah kelebihan manusia dibandingkan makhluk lain sehingga Allah SWT memerintahkan agar makhluk lain untuk bersujud kepada Adam AS. Nama-nama benda yang ada sekarang adalah kreasi manusia (bukan ciptaan). Kelebihan manusia tersebut yang pada akhirnya dapat membuat komputer, mobil, pesawat terbang, dan teknologi lainnya. Bukankah itu juga nama benda ? Siapakah yang bisa mengkreasikan itu ? adalah mereka yang mempunyai ilmu tidak hanya orang muslim tapi mereka yang kafir tapi berilmu lah yang bisa. Kemudian, umat Islam ini sedang apa dan dimana ? …

Khalifah juga memiliki arti bahwa Allah SWT memberikan sebagian ilmunya kepada manusia untuk mengelola bumi ini. Kata ’allama dalam ayat 31 memberi arti bahwa Allah mengajarkan manusia. Bumi dengan materi fisiknya diciptakan oleh Allah SWT. Bukankah yang tidak punya ilmu tidak akan bisa menciptakan apapun. Ilmu inilah yang memuliakan manusia dibandingkan makhluk lainnya. Ilmu seperti apa ? selain keimanan dan ketakwaan yang menjadi dasar ketaatan kita kepada Allah SWT, ilmu untuk mengetahui dan mengelola segala ciptaan-Nya juga merupakan sesuatu yang harus dipelajari agar kita dapat hidup dan menjalankan amanahnya sebaik-baiknya. Ilmu apa saja ? segala ilmu yang ada di bumi ini karena pada dasarnya ilmu yang ada adalah ilmu untuk mempelajari ciptaan-Nya tidak terbatas pada ilmu fisika, kimia, biologi, sosial, bahasa, dll. Bukankah kita, binatang, dan segala materi yang ada adalah ciptaan-Nya. Kenyataannya, bangsa yang menguasai dan memimpin perkembangan ilmu inilah yang menguasai peradaban teknologi ini dan tidak terlepas dia muslim atau bukan. Adakah yang menyangkal atas hal ini ?

Khalifah juga bermakna bahwa kita diberikan amanah untuk mengelola bumi ini (lihat Al-Ahzab : 72).  Amanah mengelola bumi ini sudah ditawarkan oleh Allah SWT kepada langit, bumi dan gunung-gunung tapi semuanya takut untuk mengkhianati amanah ini dan manusia lah yang bodoh dan zalim yang menerimanya. Apakah amanah itu ? tanggung jawab menerima ilmu-Nya untuk mengelola alam ini.  Apa artinya jika kita tidak dapat menjalankan amanah dengan baik ? kita akan menjadi manusia yang zalim. Zalim dikarenakan kita bodoh dengan ketidaktahuan ilmu dan tidak beriman sehingga berbuat kerusakan terhadap alam dan sistem sosial ini.

Khalifah juga bermakna bahwa kita diberikan amanah untuk mengelola bumi ini (lihat Al-Ahzab : 72)

Segala ilmu dalam keilmuan bumi ini adalah untuk mempelajari ciptaan-Nya. Adakah ilmu di dunia ini yang tidak terkait dengan ciptaan-Nya ? TIDAK ADA, karena ilmu itu mempelajari semua ciptaan-Nya dari yang berukuran sekecil apapapun hingga sebesar apapun dan dari sistem yang tidak terlihat hingga sistem sosial. Bukankah kita diminta untuk bertafakur ats segala ciptaan-Nya ? akan tetapi kenapa umat islam melupakan ini semua. Mengapa kita memisahkan antara ilmu dunia dengan ilmu agama ? mengapa yang disebut ulama hanya orang yang faham ilmu fiqih, tauhid, hadist, tafsir dll. Ilmu tersebut hanya suatu alat sebagaimana ilmu fisika, kimia, biologi untuk menciptakan teknologi alat lainnya. Sedangkan hasil dari kajian ilmu alat itu menjadi kewajiban untuk kita pelajari secara fardlu ’ain. Ktia wajib secara fardlu ’ain harus mengetahui apa isi alqur’an, apa isi hadist dan lebih penting lagi kita harus dapat mengamalkan-Nya secara fardlu ’ain. Tidak cukup hanya dengan ilmu, tapi sesungguhnya yang paling mulia di hadapan Allah SWT adalah yang paling bertakwa dan paling taat.

Keilmuan itu harus kita pelajari agar kita dapat mengelola amanah-Nya dengan baik. Lebih fokus lagi, agar umat islam ini menjadi pemimpin dalam peradaban teknologi ini. Agar pengelolaan bumi ini lebih baik dan lebih amanah karena dengan keimanan dan ketakwaan. Tapi apakah umat islam khususnya diIndonesiaini lebih amanah ? Belum tentu, keimanan dan ketaatan kita belum sepenuhnya dapat mengaplikasikan makna ibadah dalam totalitas kehidupan. Paradigma umat islam di indonesia masih terkotak-kotak dalam keilmuan agama dan eksakta. Kita tidak beriman dan taat juga tidak lebih baik dalam teknologi. Pada akhirnya, kita tidak menjadi siapa-siapa.

Manusia harus membuktikan kepada malaikat bahwa dasar penciptaan Allah SWT terhadapa kita adalah benar dan tidak seperti yang diragukan oleh Malaikat tentang kenyataan ini. Ilmu ini harus didasarkan pada keimanan dan ketaatan sehingga tidak zalim dan tidak merusak sistem alam dan sosial. Mempelajari ilmunya dan mengelola bumi dengan baik adalah dalam rangka menyembah kepada-Nya dan menjadi sesuai dasar penciptaan manusia.

Salah satu penyempitan dan pengkotakan makna dapat kita lihat dalam pola pikir kita berikut ini. kita sering terjebak dalam penerjemahan surat Ad-Dzariyat dengan mendefinisikan ya’buduun sebagai ibadah. Terlebih lagi kita menyempitkan kata ibadah hanya pada sisi ritual keagamaan seperti sholat, zakat, puasa dan haji. Padahal, itu hanya ibadah ritual yang diwajibkan secara personal kepada umat islam. Ya’buduun lebih tepat diterjemahkan untuk menyebah. Kita sering terjebak dan kesulitan dengan penerjemahan dari satu bahasa ke bahasa lain. Ini merupakan masalah umum yang dihadapi penerjemah untuk mencari kata yang tepat. Masalah tersebut tidak hanya pada penerjemahan bahasa arab tapi juga seperti pada penerjemahan bahasa lain seperti bahasa inggris, perancis, jerman dll.

Mengapa saya ungkapkan ini ? kita harus memahami makna menyembah lebih luas dari pemahaman kita selama ini. Menyembah seperti apakah ? menyembah untuk mengemban amanah sebagai khalifah menjalan kan hidup manusia seutuhnya yang tidak hanya terbatas pada kehidupan bergama ritual tetapi juga mengelola bumi in. Fungsi manusia tidak hanya terbatas seperti penciptaan malaikat yang hanya bertasbih. Menyembah yang benar adalah menyembah kepada Tuhan yang satu, Tuhan agama yang paling baru dan terakhir, Tuhan yang menciptakan segala alam semesta, Tuhan seluruh umat manusia yaitu Allah SWT dan mengemban amanah-Nya kepada kita.

Mengapa saya sampaikan ini ? karena Keimanan, ketaatan, dan berilmu adalah sesuatu yang haq dan tidak dapat dipisahkan. Belajar dan menjadi pemimpin dalam peradaban teknologi bagi umat islam adalah keharusan. Menyembah tidak hanya dengan ibadah ritual saja tapi mengelola amanah ini dan menjadi khalifah seperti dasar penciptaan manusia adalah sesuatu keharusan agar tidak merusak sistem alam dan sistem sosial bahkan sistem kehidupan dunia ini. Belajar tidak hanya pada ilmu fiqih, hadist dan lain-lain tapi juga pada ilmu fisika, kimia, biologi dan lain-lan. Terlebih-lebih jikalau pembelajaran tersebut dapat meningkatkan ketakjuban kita sehingga mengucapkan tasbih hanya kepada-Nya. Bukan agama kita yang salah, tapi yang salah adalah kita sebagai umat islam dan paradigma kita yang selama in terlalu sempit.

Menyembah tidak hanya dengan ibadah ritual saja tapi mengelola amanah ini dan menjadi khalifah seperti dasar penciptaan manusia adalah sesuatu keharusan agar tidak merusak sistem alam dan sistem sosial bahkan sistem kehidupan dunia ini.

Wallahu a’lam bis showab.


Leave a Reply